BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian
tentang Partisipasi Wali Santri
Kata partisipasi berarti “hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutserta, peran serta". Dari definisi
ini diketahui, bahwa partisipasi
peran
serta seseorang dalam suatu
kegiatan atau penyelenggaraan pendidikan.
Wali santri dalam hal ini orang tua santri,
memiliki peran yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran serta wali santri dalam penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren akan sangat mempengaruhi keberhasilan
pendidikan itu sendiri. Tanpa
peran serta dari wali santri, maka
pendidikan tidak akan mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan, sebab wali santri merupakan
salah satu subyek yang
bertanggung jawab dalam
pendidikan.
Tanggung jawab wali santri (orang tua)
dalam pendidikan ditegaskan dalam UU.
Sisdiknas, Pasal 7 ayat (1), yaitu orang tua berhak berperan serta dalam
memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan
pendidikan anaknya.
Orang tua atau keluarga sebagai bagian dari
masyarakat dituntut untuk berperan aktif dalam peny
elenggara
an pendidikan. Pemerintah menyadari akan pentingnya
peran serta masyarakat di bidang pendidikan. Oleh karena itu pemerintah
memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan aktif di dalamnya. Hal
ini ditegaskan dalam UU
Sisdiknas pasal 8, y
aitu:
“masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan
dan evaluasi pendidikan.".
Adapun yang dimaksud dengan peran serta masyarakat dalam pendidikan, sebagaimana tercantum dalam UU
Sisdiknas pasal 9
adalah: masyarakat berkewajiban meberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Dari uraian diatas, dapat dimengerti
bahwa yang dimaksud dengan partisipasi wali santri adalah peran serta wali
santri dalam kegiatan pendidikan.
Untuk lebih jelasnya
lagi, ada baiknya diuraikan mengenai tempat wali santri atau orang tua santri berada, yaitu keluarga terlebih dahulu. Abu
Ahmadi dalam bukunya “Sosiolog
i Pendidikan” memberikan pengertian keluarga sebagai wadah yang
sangat penting,
di
antara individu dan group
merupakan
kelompok sosial yang
pertama di mana
anak-anak menjadi anggota.
Definisi ini memberikan pengertian bahw
a keluarga
merupakan pranata atau kelompok sosial vang
pertama bagi anak-anak.
Hasbulloh mengatakan
peran keluarga merupakan satu kesatuan hidup (sistem
sosial). Sebagai satu kesatuan hidup bersama (sistem
sosial) keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ikatan
kekeluargaan ini membantu anak untuk mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi,
kerjasama, disiplin ting
kah
laku yang
baik, serta pengakuan akan kewibawaan.
Selanjutnya H.M Arifin mengemukakan ciri-ciri khas dari keluarga sebagai berikut:
1.
Keluarga
adalah persekutuan hidup yang pasti dari orang tua sebagai suami istri.
2.
Keluarga
adalah sebagai persekutuan kodrati bagi anak dalam pertumbuhan yang bersifat mengurang.
3.
Keluarga
adalah kodrati yang abadi bagi anak dcwasa dan orang tua.
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami
bahwa :
a. Keluarga merupakan persekutuan hidup, bertalian orang tua sebagai suami istri adalah atas
dasar persetujuan yang terjadi di antara mereka. Oleh karena itu orang tua bertanggung jawab atas adanya persekutuan hidup tersebut.
b. Anak yang lahir dalam keluarga merupakan
anggota yang terhitung dalam keluarga tersebut. Kelahiran anak dalam keluarga adalah
kodrati. Oleh karena itu, keluarga bertugas untuk mendidik anak tersebut.
c. Meskipun anak telah dewasa dan telah mampu
berdiri sendiri, tetapi masih mempunyai hubungan yang erat sepanjang hidupnya.
Dalam kaitannya dengan
pendidikan, keluarga adalah “lembaga pendidikan
terua, bersifat informal, yang
pertama dan utama dialami
oleh anak dan
lembaga pendidikan yang
bersifat kodrat”. Sedangkan Aisyah
Dahlan mengemukakan bahwa keluarga adalah “Sekolah tempat mereka belajar hidup dan kehidupan,
belajar mengenal yang
benar dan yang
salah”.
Dari kedua pengertian di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa
keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama yang dialami oleh anak.
- Tanggungjawab Keluarga dalam Pendidikan
Salah satu fungsi dari keluarga adalah fungsi pendidikan. Fungsi pendidikan mengharuskan setiap orang tua/wali
santri untuk mengkondisikan kehidupan keluaraga menjadi situasi pendidikan sehingga terdapat proses saling belajar di antara anggota keluarga.
Fungsi pendidikan ini
mempunyai hubungan yang erat dengan masalah tanggungjawab orang tua/wali santri
sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya.
Sehubungan dengan masalah
tanggung jawab orang tua/wali santri sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya.
Allah SWT, memerintahkan
kepada setiap orang yang beriman untuk memelihara
diri dan keluarganya dari api neraka, yang berarti perintah untuk mendidik keluarga, terutama anak-anaknya, sebagaimana firman Allah SWT. Dalam Al-Qur'an surat At-Tahrim ayat 6:
يا أيها الذين أمنوا
قوا أنفسكم وأهلكم نارا {التحريم : 6}
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka".
Tanggungjawab orang tua/wali
santri untuk mendidik anaknya dan
pendidikan di lingkungan
keluarga ini merupakan dasar dari pembinaan
pribadi secara
keseluruhan.
Berkaitan dengan hal ini Zakiyah Darajat mengatakan bahwa :
Pengalaman
hidup yang
diperoleh anak-anak di dalam keluarga merupakan
pendidikan v
ang
terjadi secara formil dan sengaja, tapi ia merupakan
dasar dari pembinaan
pribadi secara keseluruhan termasuk moral
dan agama.
Hal senada juga
dikemukakan oleh Sarwono bahwa :
Walaupun keluarga
memberikan seluruh aspek perkembangan pribadi anak, tetapi di dalam keluargalah terutama tertanam dasar-dasar pendidikan moril, dimana pendidikan moril ini terutama tidak diberikan dengan penerang
an atau ceramah atau
kuliah, tetapi melalui contoh-contoh
yang
konkrit dalam perbuatan sehari-hari.
Dari kedua pernyataan di atas dapat dimengerti
bahwa orang tua/wali santri sangat berperan dalam mendidik anak-anaknya sebelum memasuki lembaga pendidikan yang
lain, sebab anak lebih banyak menghabiskan waktunya
di dalam lingkungan keluarga
dibanding dengan di sekolah dan masyarakat.
Tentang pentingnya peranan pendidikan di dalam lingkungan keluarga, ditegaskan dalam UU nomor 2 tahun
1989 tentang
sistem pendidikan nasional bab IV
pasal 10
ayat 4 : “
Pendidikan keluarga
merupakan bagian dari pcndidikan luar sekolah yang
diselenggarakan
dalam keluarga
dan yang
memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral
dan ketrampilan".
Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, maka pendidikan
dalam keluarga adalah mutlak dan merupakan pendidikan pendahuluan bagi pendidikan di sekolah dan
masyarakat.
- Bentuk-bentuk Partisipasi
Membahas bentuk-bentuk partisipasi secara
umum tidak bisa lepas dari peranan
Linton, seorang ahli antropologi, yang
telah berjasa mengklasifikasi tipe-tipe partisipasi dalam hubungannya dengan kebudayaan. Linton, sebagaimana dikutip oleh Abu Ahmadi
membagi tipe-tipe partisipasi sebagai berikut :
a.
Partisipasi
menyeluruh (universal), adalah
tradisi-tradisi kebudayaan yang diperlukan bagi seluruh anggota dari suatu masyarakat.
Contoh : bagaimana cara yang semestinya
untuk menyapa seorang sahabat, perlunya memiliki surat nikah atau kewajiban belajar dari anak-anak
dalam usia tertentu.
b.
Partisipasi
pilihan (alternatif),
adalah situasi-situasi dimana individu bisa memilih beberapa kemungkinan tindakan yang sama atau hampir sama baiknya di
mata masyarakat yang lebih besar.
Contoh : Seorang bisa menyapa para kenalannya dengan beberapa cara yang akan
dipandang pantas, yaitu dengan berjabat tangan, memberikan
ciuman (di dalam situasi tertentu) atau
dengan mengeluarkan suatu ucapan, yang semuanya itu dapat dipandang
sebagai alternatif pilihan yang sama atau hampir sama baiknya.
c.
Partisipasi
kekhususan (specialty),
adalah aspek-aspek unik dari
kebudayaan yang tidak diikuti oleh
khalayak ramai secara umum. Semua kelompok yang dapat dikatakan khusus di dalam pengertian profesi, pekerjaan atau keagamaan.
Contoh :
Pekerjaan dari para Dokter, anggota dinas rahasia, guru
dan
sebagainya.
Berdasarkan bagian atau tipe-tipe
partisipasi di atas, maka partisipasi wali santri dalam pengembangan lembaga pendidikan pondok pesantren adalah
bentuk partisipasi yang kedua,
yaitu partisipasi alternatif. Dikatakan partisipasi alternatif karena partisipasi
wali santri dalam pengembangan lembaga pendidikan dapat berbentuk beberapa alternatif yang
sesuai dengan kemampuan wali
santri itu sendiri. Beberapa alternatif
itu dapat berbentuk partisipasi pikiran, partisipasi tenaga dan partisipasi biaya (dana).
Adapun partisipasi atau
peran serta masyarakat dalam sistem pendidikan nasional,
antara lain dalam bentuk pendanaan sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas bab XIII
tentang pendanaan pendidikan, yaitu pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah
dan masyarakat.
Dari uaraian di atas dapat
ditarik kesimpulan, bahwa
bentuk-bentuk partisipasi orang tua/wali santri terdiri dari partisipasi pikiran, partisipasi tenaga dan partisipasi biaya (dana).
a.
Partisipasi Pikiran
Partisipasi pikiran adalah salah satu
bentuk alternatif partisipasi yang
berupa sumbangan pikiran, ide gagasan, atau pertimbangan kebijaksanaan untuk pengembangan penddikan.
Partisipasi pemikiran ini ditegaskan dalam PP nomor 39 tahun 1992 bab III pasal 4 ayat 10 sebagaimana tercantum di atas.
b.
Partisipasi
Tenaga
Partisipasi tenaga adalah salah satu
alternatif partisipasi yang
berbentuk sumbangan tenaga, baik dalam
pelaksanaan program yang dapat membantu pelaksanan pendidikan serta
bantuan tenaga dalam pembangunan sarana dan prasarana pendidikan melalui kerja bhakti,
gotong-royrong, tenaga suka rela dan sebagainya.
Partisipasi tenaga ini
ditegaskan dalam PP nomor 1992 bab III pasal 4 ayat 2, 3 dan 4 sebagaimana
tercantum di atas.
c.
Partisipasi
Dana (biaya)
Partisipasi dana atau biaya adalah salah satu alternatif dari bentuk partisipasi yang berupa bantuan finansial dan barang. Bantuan dalam bentuk finansial atau barang dapat berupa uang,
donatur tetap dan barang yang
merupakan sarana dan prasarana pendidikan.
B. Kajian
tentang Pondok Pesantren
1.
Pengertian
Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah kata majemuk yang
terdiri dari dua kata yaitu pondok dan pesantren.
Keduanya mempunyai pengertian yang saling melengkapi. Dalam buku sejarah
pendidikan
di Indonesia, Mahmud Yunus mengemukakan bahwa pesantren adalah tempat santri-santri atau murid-murid yang belajar agama Islam, sedangkan pondok adalah penginapan santri seperti asrama masa
sekarang.
Lebih lanjut dijelaskan lagi istilah
pondok mungkin berasal dari kata funduk, bahasa arab yang
berarti rumah pe
nginapan atau hotel.
Akan tetapi pondok di dalam pesantren di Indonesia,
khususnya di pulau Jawa, lebih mirip dengan pemondokan, yaitu perumahan sederhana yang
di petak-petak
dalam kamar-kamar merupakan asrama
bagi para santri itu mukim
dan menuntut ilmu, di sebut pesantren.
Dengan pengertian lain, bahwa pesantren merupakan suatu tempat tertentu yang di dalamnya terdapat kegiatan belajar mengajar tentang agama
Islam. Sedangkan pondok hanya sebagai penginapan, jadi bersifat umum.
Pada dasarnya, istilah pondok pesantren merupakan suatu perpaduan
antara bahasa Arab dengan bahasa Tamil. Sesuai dengan masalah ini, Karel A.
Steenbrink mengemukakan bahwa, asal usul istilah pondok pesantren mungkin
berasal dari bahasa Arab "funduk" yang artinya pesanggrahan atau
penginapan bagi orang bepergian
.
Sedangkan istilah pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang
dengan awalan pe" dan ahiran "an" berarti tempat tinggal para
santri .
Selanjutnya Zamakhsyari Dhofier
menjelaskan asal usul kata santri itu sebagai berikut :
Johns
berpendapat bahwa istilah santri berasal dari Tamil, yang berarti guru mengaji,
sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah shastri yang dalam bahasa India
berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli
kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti
buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan
.
Melihat dari pendapat para ahli tersebut, kedua kata pondok dan pesantren
itu jelas merupakan dua kata yang identik, yaitu asrama tempat santri atau
tempat murid belajar mengaji.
Pengertian semacam itu bila dihadapkan
pada realitas sosial dunia pesantren pada saat ini sudah tidak ada relevansinya
lagi, karena perubahan yang terjadi di luar pesantren secara tidak langsung
juga harus diikuti oleh dunia pesantren jika tetap ingin akses dalam percaturan kehidupan
masyarakat.
Sehubungan dengan itu, M. Dawam Rahardjo mengatakan sebagai berikut:
Pesantren adalah sebuah
lembaga pendidikan dan penyiaran
agama Islam,
itulah pesantren pada awal perkembangannya. Sekarang telah terjadi perubahan dalam masyarakat, sebagai akibat dari pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya pesantren tetap ada pada fungsinya yang
asli, yang selalu
terpelihara di tengah-tengah arus
perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus
perubahan yang kerap kali tidak terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak moderisasi.
Dari perubahan definisi tersebut, di
dalam dunia pesantren berarti telah terdapat suatu kecenderungan
memperluas fungsi pesantren, yaitu bukan saja sebagai lembaga agama,
melainkan juga sebagai lembaga pendidikan dan sosial. Tugas yang digarap bukan saja soal-soal agama tetapi juga menanggapi soal-soal kemasyarakatan
yang hidup.
Dengan fungsi sosial ini, pesantren diharapkan peka dalam menanggapi persoalan-persoalan kemasyarakatan
seperti mengatasi kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, memberantas pengangguran, memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat dan lain sebangainya.
Berangkat dari beberapa pengertian
tentang pondok pesantren tersebut, maka dapat diambil suatu pengertian,
bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam atau kompleks (asrama) yang terorganisir sebagai tempat belajar santri serta diasuh oleh kyai .
Berdirinya suatu pondok pesantren bisanya diawali dengan bermukimnya seorang kyai di suatu tempat
kemudian berdatangan orang-orang untuk menjadi santri dan belajar ilmu-ilmu agama Islam kepada kyai
itu, sang kyai melayani dengan suka rela, para santri itu bermula dari tetangga kanan kiri kemudian
disusul dari desa sebelah dan dari daerah lain.
Selama belajar para santri ikut
tinggal di rumah kyai atau pulang. Tetapi setelah
santri tambah banyak, para santri kemudian mendirikan pondok pesantren secara bersama-sama dengan
mendayagunakan sumber atau bahan setempat. Mereka mengatur sendiri pekerjaan
dan
kebutuhan sehari-hari. Di dalam ruang yang sederhana itu para santri menuntut ilmu, mendiskusikan masalah agama yang mereka pelajari. Di situlah mereka istirahat dan tidur.
2.
Elemen-elemen Pondok
Pesantren
Sebuah pondok pesantren mau tidak mau, tidak akan terlepas dari elemen dasarnya dan mungkin juga elemen penunjangnya. Ada beberapa aspek yang berupa elemen dasar dari pesantren yang
perlu dikaji lebih jauh mengingat pesantren
merupakan sub kultur dalam kehidupan
masyarakat kita sebagai suatu bangsa. Ketahanannya membuat pesantren
tidak mudah menerima suatu perubahan yang datang dari luar, karena pesantren
memiliki suatu benteng tradisi tersendiri. Tradisi kerakyatan dalam mengabdi kepada Allah SWT. dan menyebarkan kebaikan ke tengah-tengah masyarakat.
Hal itu terjadi di sebabkan dalam alam pesantren terkenal bebas
demokratis, tetapi usaha pembinaan
mental dan spritual serta kemauan sendiri amatlah
kuat. Elemen dasar yang menjadi ciri khas
pondok pesantren adalah pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kyai.
Untuk memperjelas kelima komponen atau unsur-unsur di atas, dibawah ini akan dijelaskan satu persatu:
a. Pondok
Sebuah pesantren
pada
dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seseorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai asrama untuk para santri berada dalam lingkungan komplek
pesantren di
mana kyai, bertempat tinggal, yang juga menyediakan
sebuah
masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan
kegiatan keagamaan lainnya. Komplek
pesantren ini biasanya dikelilingi
dengan tembok untuk mengawasi keluar dan masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Ada tiga alasan utama yang menyebabkan pesantren
harus menyediakan asrama bagi para santri, yaitu :
Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri dari jauh untuk mengambil ilmu dari kyai tersebut secara teratur dalam waktu yang lama, para
santri harus meninggalkan kampung halamannya
dan menetap di dekat kediaman kyai.
Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan yang cukup untuk dapat menampung santri-santri, dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri.
Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan
santri dimana para santri menganggap kyai seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap
para santri sebagai titipan tuhan yang harus
senantiasa dilindungi. Sikap timbal
balik ini menimbulkan perasaan
tanggung jawab di pihak kyai untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak santri tumbuh perasaan pengabdian terhadap kyainya, sehinngga para kyai mendapat imbalan dari santri
sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.